Presiden Prabowo Subianto disebut-sebut akan memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, hal ini memicu perdebatan sengit di ruang publik. Pro dan kontra bermunculan, dengan berbagai kalangan menyampaikan pandangan mereka. Keputusan ini kembali membuka lembaran sejarah yang belum tuntas, memicu diskusi tentang memori kolektif bangsa.
Di tengah gelombang kritik, sejumlah tokoh memberikan tanggapan mereka. Perdebatan ini mencerminkan kompleksitas sejarah Indonesia dan bagaimana masa lalu terus menghantui, mempengaruhi pandangan kita tentang masa kini.
Kontroversi Gelar Pahlawan untuk Soeharto
Reaksi dari Berbagai Kalangan
Kabar mengenai rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto memicu reaksi beragam dari berbagai pihak. Sejumlah aktivis, akademisi, dan lembaga hak asasi manusia (HAM) menyuarakan penolakan keras terhadap rencana tersebut. Mereka menilai bahwa langkah ini mengabaikan catatan kelam sejarah, khususnya pelanggaran HAM yang terjadi selama masa Orde Baru.
Di sisi lain, ada pula pihak yang mendukung rencana tersebut. Dukungan ini datang dari internal Partai Golkar, partai yang selama ini memiliki kedekatan dengan Soeharto.
Imbauan dan Harapan dari Ketua Umum Partai Golkar
Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, menyampaikan tanggapannya terkait polemik ini. Ia meminta masyarakat yang keberatan dengan rencana pemberian gelar tersebut untuk merelakannya.
Bahlil menyampaikan harapan agar perbedaan pandangan dapat diterima sebagai bagian dari demokrasi. Ia juga menekankan bahwa setiap tokoh publik pasti memiliki sisi yang menjadi perdebatan.
Bahlil memberikan imbauan bagi mereka yang masih merasa keberatan dengan keputusan ini:
“Kalau ada yang masih belum mau ikhlaskan, saya doakan, mudah-mudahan mereka bisa ikhlaskan,” ujar Bahlil dalam konferensi pers di kantor DPP Golkar, Jakarta, Jumat (14/11/2025).
Bahlil juga menyampaikan:
“Kalau tidak ikhlas lagi, salat terus yang Muslim, yang Kristen ke gereja, yang Hindu, Buddha ke tempat ibadah masing-masing agar mendapat rahmat,” katanya.
Mengenang Jasa Soeharto
Bahlil juga menyinggung jasa-jasa Soeharto selama menjabat sebagai presiden selama 32 tahun. Selain itu, ia juga menyoroti peran Soeharto sebagai Ketua Dewan Pembina DPP Partai Golkar dan kontribusinya terhadap kelahiran partai tersebut.
Kritik dari Kelompok Masyarakat Sipil
Kritik pedas terhadap rencana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto datang dari berbagai kelompok masyarakat sipil. Amnesty International Indonesia menyatakan bahwa keputusan ini mengabaikan catatan pelanggaran HAM pada masa Orde Baru.
Komnas HAM juga turut memberikan respons. Lembaga ini menegaskan bahwa rencana tersebut “menciderai rasa keadilan” bagi para korban peristiwa-peristiwa kelam seperti tragedi 1965, Talangsari, Tanjung Priok, hingga kerusuhan Mei 1998.
Refleksi atas Memori Politik Indonesia
Perdebatan seputar pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto menjadi cermin bagaimana memori politik Indonesia terus bergulir. Setiap keputusan negara membuka kembali ruang diskusi yang belum tuntas. Hal ini mengingatkan kita akan pentingnya terus belajar dari sejarah dan memastikan keadilan bagi semua.











